(Studi Kasus : Jual Beli Ginjal di RSSA Malang)
Dosen Pengampu : Rachmat Kriyantono, Ph.D.Disusun oleh:
Bunga Sani Luhur P. (155120201111066)
Kevin Yolandri (165120201111084)
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Deskripsi Kasus
Rumah Sakit
Saiful Anwar atau dapat disebut RSSA merupakan rumah sakit milik pemerintah
Kota Malang yang menjadi salah satu rumah sakit rujukan masyarakat di Jawa
Timur. Pada bulan Desember 2017 lalu, kepolisian Kota Malang menerima laporan
adanya dugaan praktik transplantasi organ tubuh secara ilegal di rumah sakit
tersebut. Kasus ini terjadi pada 25 Febuari 2017, seorang wanita bernama Ita
Diana, warga Jalan Wukir Gg. 10 RT 2/RW 3, Kelurahan Temas, Kota Batu, melakukan
transplantasi ginjal di Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar, Kota Malang. Ita
merupakan seorang wanita yang saat itu sedang terbelit hutang yang cukup besar,
yakni Rp 350 juta kepada koperasi lantaran bisnisnya bangkrut dan tidak tahu
cara untuk melunasi hutangnya. Suatu ketika, Ita ditemui oleh seseorang yang
menawarkan dirinya sebuah kesempatan untuk melunasi hutangnya, yakni dengan
menjual salah satu organ tubuhnya, yaitu ginjal. Ita dikenalkan dengan salah
satu pasien yang bernama Erwin Susilo oleh Ketua Tim dokter transplantasi, Dr
Atma Gunawan. Sebelum transplantasi dilakukan, pihak pendonor, yakni Ita Diana
melakukan perjanjian kepada pihak penerima donor. Adapun perjanjiannya adalah
pihak penerima donor, yaitu Erwin Susilo akan melunasi hutang Ita Diana sebesar
jumlah nominal beban hutang yang dimiliki. Namun, dalam perjanjian ini, tidak
disertakan bukti perjanjian diatas kertas, dan pihak pendonor tidak dimintai
surat persetujuan keluarga. Hal ini menjadi sejalan dengan peraturan yang
tertulis pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, ditegaskan
dalam Pasal 64 ayat (3) UU 36/2009 menyebutkan
bahwa organ
dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. Seiring
berjalannya waktu pasca operasi transplantasi tersebut, pihak Erwin Susilo
hanya memberikan uang sebesar Rp 74 juta dari nominal yang telah disepakati
dalam perjanjian di awal. Hal ini mengakibatkan penuntutan hak oleh Ita Diana
kepada beberapa pihak atas transaksi organ tersebut.
Peristiwa yang dialami oleh Ita Diana rupanya
membuat citra dari Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar menjadi buruk. Dalam
situasi ini, RS. Saiful Anwar diduga meyanggupi permintaan konsumen untuk
melakukan praktik jual beli organ tubuh yang seharusnya tidak diperkenankan
untuk dilakukan oleh sebuah instansi kesehatan. Menurut data yang diperoleh, Rumah
Sakit Saiful Anwar sudah melakukan transplantasi ginjal yang ke tujuh belas.
Transplantasi ginjal adalah persoalan Internasional dengan daftar tunggu skala
besar yang juga dipicu oleh pendonor yang sulit. Dalam kasus ini, pihak rumah
sakit menuturkan bahwa pelaksanaan transplantasi yang dilakukan oleh Ita
Diana sudah sesuai
dengan prosedur rumah sakit. Dr Atma Gunawan, Sp.pd (kgh), ketua tim
transplantasi ginjal rumah sakit Syaiful Anwar Malang, menjelaskan bahwa “Legalnya apa yang disepakati kedua belah
pihak, menjadi dasar kami. Sesuatu yang diluar itu, kami tidak tahu dan kami
tidak bertanggung jawab. Apa yang terjadi sekarang ini, kami tahu setelah
sepuluh bulan terjadi proses transplantasi ginjal,” tegasnya.
Adapun kronologi kejadian adalah sebagai
berikut :
Waktu
|
Keterangan
|
Awal
Februari 2017
|
Ita
Diana bertemu dengan seorang dokter di RS Saiful Anwar yang menawarkan solusi
atas permasalahannya.
|
17
– 24 Februari 2017
|
Ita
Diana diinapkan pada salah satu penginapan di dekat lokasi RS Saiful Anwar
dan diberi uang Rp 75.000,-/hari oleh keluarga Erwin Susilo.
|
25
Februari 2017
|
Ita
Diana melakukan operasi transplantasi ginjal di RS Saiful Anwar yang
ditangani oleh Dr Rifai dan Dr Atma Gunawan.
Selanjutnya,
Ita menerima uang sebesar 50 juta dan 24 juta dari keluarga Erwin Susilo.
|
April
2017
|
Ita
mendapatkan uang sebesar Rp 2,5 juta dan 1,5 juta dari keluarga Erwin Susilo.
|
Desember
2017
|
Ita
Diana melaporkan adanya dugaan transplantasi illegal.
|
22
Desember 2017
|
Pihak
RS Saiful Anwar menggelar konferensi pers
|
Januari
2018
|
Pihak
kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait guna
penyelidikan lebih lanjut.
|
1.2 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Ita Diana
merupakan seorang pasien yang mendonorkan ginjalnya kepada seorang pria bernama
Erwin Susilo di Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar, Kota Malang. Melalui
penuturan Ita, yang kami dapatkan da ri wawancara dengan liputan6.com, ia menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan tawaran dari
seorang dokter bernama Dr. Rifai untuk melakukan transplantasi ginjal guna
menyelesaikan hutang hutangnya yang telah menumpuk di koperasi. Melihat hal
tersebut, ita merasa mendapatkan peluang untuk melunasi hutangnya yang sudah
kian menumpuk dan membebani dirinya. Akhirnya, ita bersedia untuk melakukan
transplantasi ginjal miliknya kepada Bapak Erwin Susilo.
Permasalahan
tidak berakhir sampai disitu, seperti yang dijelaskan oleh Zainul Arifin
(2017), reporter liputan6.com¸ Ita
yang telah merelakan organnya untuk diberikan pada Erwin tidak mendapatkan hak
yang seharusnya ia peroleh secara utuh dari transaksi tersebut. Ita yang
posisinya sebagai pendonor baru menerima uang sebesar 70 juta dari total 350
juta yang seharusnya dibayarkan. Menurut Ita, Erwin yang merupakan penerima
ginjal berjanji akan melunasi semua hutangnya secara berkala selepas proses
transplantasi berlangsung, namun yang terjadi tidak demikian. Ita menjelaskan
bahwa selepas operasi transplantasi tersebut, pihak Erwin hanya melunasi
hutang-hutangnya tidak sampai 10 juta dari sisa hutangnya yang masih berjumlah
280 juta.
Ita yang
sebelumnya diajak oleh Dr. Rifai mencoba untuk bertanya kepada dokter tersebut
atas peristiwa yang ia alami. Namun, Dr. Rifai tidak menunjukan sikap yang baik
dan meminta Ita untuk merelakan sejumlah hak yang seharusnya ia peroleh. Merasa
putus asa, Ita akhirnya melaporkan kasus ini kepada pihak yang berwenang.
Kasus yang
dialami Ita langsung mendapatkan perhatian dari pihak Kepolisian, organisasi
kesehatan, serta beberapa media setempat. Prijo Sidipratomo, Ketua Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), menjelaskan bahwa Rumah Sakit Umum Daerah
Saiful Anwar telah melakukan kesalahan yang cukup besar. Menurutnya, RS. Saiful
Anwar telah lalai dalam mengawasi praktik transplantasi organ tubuh manusia
yang seharusnya tidak boleh dilakukan apabila hal tersebut merupakan proses
yang bersifat jual beli. Projo (2017) mengatakan, “seharusnya tim trasnplantasi
organ di rumah sakit tidak hanya memriksa kecocokan antara pendonor dan
penerima secara medis saja, melainkan kepada motif dan tujuan pendonor atau
penerima dalam melakukan hal tersebut.” (Harian
Kompas, 27 Desember 2017)
Sementara itu,
pihak humas dari Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar yang mengadakan
konferensi pers dengan turut mengundang Dr. Rifai, Dr. Atma Gunawan dan
beberapa orang yang bersinggungan dengan kasus ini menyampaikan hal yang cukup
berbeda dengan keterangan yang disampaikan oleh Ita. Berdasarkan sumber yang
kami terima dari suryamalang.tribunnews.com,
Dr. Rifai mengatakan bahwa Ita yang datang sendiri dan memperkenalkan diri
menjadi donor transplantasi ginjal.
Dr. Rifai menjelaskan bahwa Ita menyatakan secara ikhlas untuk kepentingan
kemanusiaan setelah itu pihak RS. Saiful Anwar kemudian baru mencatat nama,
nomer telepon dan golongan darah Ita Diana.
Sependapat
dengan yang disampaikan oleh Dr. Rifai, Dr. Atma yang merupakan dokter perawat
pasca operasi turut menjelaskan bahwa pihak rumah sakit tidak mengetahui
identitas dari Ita sebelumnya. Dr. Atma menambahkan bahwa dirinya hanya
mendapatkan tugas untuk menjadi dokter dari saudari Ita, sedangkan untuk
praktik jual beli biasanya terjadi diluar kewenangan pihak rumah sakit.
Hingga saat ini,
persoalan jual beli organ tubuh yang menimpa Ita Diana serta Rumah Sakit Umum
Daerah Saiful Anwar belum kunjung selesai. Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar
selaku penyelenggara dari kasus tersebut masih melakukan audit yang mendalam
bersama kepolisian agar kasus yang dialami oleh Ita dapat cepat selesai dan
tidak terjadi lagi kasus kasus yang serupa.
BAB 2
ANALISIS KASUS
Teori contingency of accommodation in public relations (CA) merupakan
sebuah pengembangan teori atas kritik dari model two-way symmetric yang muncul dari teori excellence in public relations (Kriyantono, 2014, h.120). Menurut
Fwakes (2004), Grunig dan Hunt (1984), Harrison (2009), dan
Wehmeier (2009) (dikutip di Kriyantono, 2014, h.120), Model two-way symmetric merupakan sebuah
dialog penuh antara sebuah organisasi dengan publiknya yang memiliki fokus pada
upaya membangun hubungan serta pemahaman bersama, bukan bersifat mempersuasi
public dengan berbagai cara. Disini, organisasi memandang publik sebagai bukan
sebatas ‘penerima’ yang bersifat pasif melainkan public turut mendapatkan peran
sebagai ‘sumber’. Hal inilah yang membuat model two-way symmetric sulit menentukan siapakah penerima dan sumber
dari hubungan dialogis antara organisasi dan publiknya.
Seperti
yang telah dijelaskan, teori contingency
of accommodation in public relations memiliki sifat yang bertolak belakang
model two-way symmetric. Kriyantono
(2014) menjelaskan bahwa teori contingency
of accommodation in public relation berpendapat bahwa praktik public relations harus bergerak pada
suatu kontinum (representasi dari kemungkinan sifat organisasi terhadap
publiknya) antara advokasi total bagi organisasi atau klien dan akomodasi total
bagi publiknya. Yang dimaksud dengan advokasi total adalah pemenuhan kebutuhan
satu pihak dimana akan mengurangi pemenuhan kebutuhan pihak lainnya. Jadi,
advokasi akan memenuhi kebutuhan organisasi namun akan mengurangi kebutuhan
publik, dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan akomodasi lebih menekankan kepada
pemenuhan kebutuhan organisasi dan publiknya melalui dialog, negosiasi, dan
kompromi (Kriyantono, 2014, h.120).
Kasus
Ita Diana merupakan salah satu bentuk crisis dari sebuah perusahaan atau
instansi yang berbentuk kesehatan. Dalam kasus tersebut, kami melihat bahwa
adanya upaya yang dilakukan oleh public
relations dari Rumah Sakit Saiful Anwar dalam mengatasi kasus tersebut,
salah satunya menggunakan teori contingency
of accommodation in public relations. Hal ini karena public relations Rumah Sakit Saiful Anwar dihadapkan ke dalam dua
permasalahan dimana tidak bisa menguntungkan kedua pihak ataupun merugikan
kedua pihak seperti yang dipaparkan dalam teori contingency of accommodation in public relations.
Dalam
teori contingency of accommodation in
public relations seorang praktisi public
relations akan dihadapkan pada kontinum antara advokasi total yang bersifat
murni bagi organisasi atau klien dan akomodasi total yang bersifat murni bagi
publiknya (Kriyantono, 2014, h.120). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, advokasi
yang seharusnya dilaksanakan oleh public
relations adalah memihak kepada salah satu pihak, baik itu pihak Ita Diana
selaku korban maupun RS. Saiful Anwar yang citranya sudah buruk akibat kasus
tersebut. Sedangkan akomodasi yang dimaksudkan disini ialah public relations RS. Saiful Anwar
seharusnya berusaha untuk memberikan pemenuhan atas komplain yang diberikan
oleh Ita Diana selaku korban dan juga penyelesaian kasus untuk mengembalikan
citra RS. Saiful Anwar.
Hal
yang dilakukan oleh public relations
Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar tentunya tidak demikian. Public relations dari rumah sakit
tersebut berupaya untuk berada di antara advokasi dan akomodasi yang merupakan
bentuk dari teori contingency of
accommodation in public relations. Seperti yang disampaikan oleh Kriyantono
(2014, h.123), bahwa “sikap atau posisi seorang praktisi public relations pada kontinum harus dapat bersifat dinamis dan
bergantung paa perubahan situasi yang terjadi.” Dalam suatu peristiwa, public relations RS. Saiful Anwar berusaha
untuk menyesuaikan diri pada situasi yang terjadi. Praktisi public relations RS. Saiful Anwar
berusaha untuk memenangkan atau tidak memenangkan salah satu ataupun kedua
belah pihak.
Seperti
yang telah dijelaskan diatas, pelaksanaan teori contingency of accommodation in public relations berada pada
kontinum diantara akomodasi dan advokasi. Lalu bagaimana menentukan jelasnya
posisi dari seorang praktisi public
relations tersebut? Berdasarkan literature yang kami baca, perubahan
situasi yang dalam teori contingency of
accommodation in public relations ditentukan oleh variable internal dan
variable eksternal yang mempengaruhi sikap atau pendirian (stance) terhadap publik tertentu pada lingkup waktu tertentu
(Kriyantono, 2014, h.123).
Kami
mencoba memisakan kedua variable yang menentukan sikap dari RS. Saiful Anwar
dalam mengatasi permasalahan tersebut. Adapun variable internal dalam kasus ini
adalah:
1. Berdasarkan
karakter perusahaan
-
RS. Saiful Anwar kekurangan personil
atau karyawan yang mendalami pemprograman managemen isu.
-
Kurangnya pengalaman yang dimiliki RS.
Saiful Anwar dalam mengatasi permasalahan tersebut.
2. Berdasarkan
karakter individu. (tenaga ahli perusahaan)
-
Kurangnya pelatihan tenaga kerja dalam
mengatasi isu yang terjadi pada perusahaan tersebut.
-
Minimnya etika yang diterapkan oleh
tenaga ahli RS. Saiful Anwar dalam mengatasi problematika jual beli organ tubuh
yang dialami oleh Ita Diana.
-
Kurang mampunya tenaga ahli dalam
mengenali potensi-potensi masalah yang akan terjadi
-
Adanya kecenderungan untuk bernegosiasi
dengan pasien. Baik itu pendonor maupun penerima kasus jual beli organ
tersebut.
Sedangkan
variable eksternal yang mempengaruhi dan menentukan sikap dari RS. Saiful Anwar
dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah:
-
Adanya hukum yang mengatur tentang jual
beli organ tubuh manusia, yakni UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yakni Pasal 64 ayat (3).
-
Banyaknya dukungan masyarakat kepada Ita
agar kasusnya lebih cepat selesai.
-
Kuasa hukum Ita yang menuntut kejelasan
pihak RS. Saiful Anwar atas kasus tersebut.
-
Banyaknya media dan masyarakat yang
menanti akhir kasus tersebut.
Setelah
melihat dan mengelompokan beberapa variable yang menentukan sikap public relations perusahaan tersebut,
maka dapat kami tarik beberapa kesimpulan, yakni:
1. Teori
contingency of accommodation in public
relations merupakan teori yang menjelaskan bahwa praktisi public relations tidak dapat berpihak
kepada organisasi atau terhadap publiknya. Teori ini menjelaskan bahwa seorang
praktisi public relations harus dapat
bersikap sesuai dengan situasi yang ada tanpa menguntungkan atau merugikan
salah satu pihak ataupun kedua pihak sekaligus.
2. Teori
contingency of accommodation in public
relations menjelaskan bahwa seorang praktisi public relations harus dapat menentukan sikapnya. Praktisi public relations tersebut akan berdiri
di suatu kontinum antara advokasi atau akomodasi. Mereka tidak boleh berdiri di
pihak advokasi ataupun akomodasi.
3. Dalam
studi kasus penjualan organ tubuh yang menimpa Ita Diana, citra Rumah Sakit
Umum Daerah Saiful Anwar menjadi buruk. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengawasan sehingga rumah sakit tersebut menjadi tempat terjadinya praktik jual
beli organ tubuh.
4. Praktisi
public relations RS. Saiful Anwar
yang diwakilkan oleh Bapak Hanief Noelsjadu selaku Wakil Direktur Pelayanan
Medik memutuskan untuk menggelar konfrensi pers. Dalam konfrensi tersebut,
Bapak Hanief selaku public relations dari
RS. Saiful Anwar menegaskan rumah sakit akan bekerjasama dengan kepolisian
untuk menyelesaikan kasus tersebut hingga tuntas.
5. Hal
yang dilakukan oleh Bapak Hanief Noelsjadi merupakan salah satu bentuk dari
teori contingency of accommodation in
public relations. Praktisi public
relation berupaya untuk tidak memenangkan salah satu pihak ataupun
merugikan salah satu pihak. Praktisi public
relations tersebut berupaya untuk menyelesaikan kasus sehingga terdapat
kejelasan dan citra Rumah Sakit Saiful Anwar dapat kembali menjadi baik.
REKOMENDASI
Berdasarkan penjelasan kasus diatas,
kami merekomendasikan agar public
relations dari Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar untuk dapat
menyelesaikan kasus tersebut. Public
relations rumah sakit tersebut kami nilai sudah benar dalam menentukan
pilihan menggunakan teori contingency of
accommodation in public relations. Semoga kasus tersebut dapat segera
diselesaikan dan tidak merugikan atau mengutungkan salah satu pihak saja.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
Z. (22 Desember 2017). Perjuangan Wanita di Malang Menagih Uang Donor Ginjal. Liputan6.com.
Diambil pada 19 Februari 2018, dari http://regional.liputan6.com/read/3203537/perjuangan-wanita-di-malang-menagih-uang-donor-ginjal.
Arifin,
Z. (22 Desember 2017). Donor Ginjal atas Tawaran Dokter. Liputan6.com.
Diambil pada 19 Februari 2018, dari
http://regional.liputan6.com/read/3203537/perjuangan-wanita-di-malang-menagih-uang-donor-ginjal.
Arifin,
Z. (22 Desember 2017). Dugaan Jual Beli Organ Tubuh. Liputan6.com.
Diambil pada 19 Februari 2018, dari http://regional.liputan6.com/read/3203537/perjuangan-wanita-di-malang-menagih-uang-donor-ginja.
A.D.H
(27 December 2017). Praktik Jual Beli Organ Dilarang UU Kesehatan. Harian
Kompas. Diambil pada 19 Februari 2018, dari
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20171227/281818579201820.
Kriyantono, R., Ph.D. (2014). Teori-Teori
Public Relations Perspektif Barat dan Lokal. Jakarta, Indonesia: Kencana.
Widyawati, S. (22 Desember 2017).
RSSA Kota Malang Lakukan Audit Internal Sikapi Kasus Transplantasi Ginjal. SuryaMalang.com.
Diambil pada 19 Februari 2018, dari http://suryamalang.tribunnews.com/2017/12/22/rssa-kota-malang-lakukan-audit-internal-sikapi-kasus-transplantasi-ginjal.
Saputra, H (19 Desember 2017). Terdesak Utang, Begini Kronologis Penjualan Ginjal yang Dilakukan Wanita Malang Ini. MalangTimes.com. Diambil pada 19 Februari 2018 dari http://m.malangtimes.com/baca/23435/20171219/205608/terdesak-utang-begini-kronologis-penjualan-ginjal-yang-dilakukan-wanita-malang-ini/
http://hukrim.memontum.com/6550-17-kali-transplantasi-ginjal-rssa-pasti-sesuai-prosedur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar